SOLO(Panjimas.com) - Ratusan warga Desa Gedongan, Colomadu, Karanganyar melakukan aksi damai di depan kafe miras Black Arion, Jum'at (22/7/2022). Aksi Daftar Isi Profil KH. Abu Bakar Shofwan Gedongan1. Kelahiran2. Wafat3. Keluarga4. Pendidikan5. Menjadi Pengasuh pesantren6. TeladanKelahiranKH. Abu Bakar Shofwan atau yang kerap disapa dengan panggilan Kiai Abu lahir pada tahun 1942, di desa Pejomblangan Kedungwuni Pekalongan. Beliau merupakan putra dari H. Shofwan Hj. Timu binti Ahmad Jaiz Kudus yang merupakan keturunan dari Sunan beliau dari jalur ayah merupakan saudara dari KH. Khalil Bangkalan. Nasab beliau diantaranya, H. Shofwan bin Muharrir bin Muhamad bin Ahmad Prawiro bin Ahsan Prawiro bin Ahmad Prawiro bin Ahmad Abu wafat pada hari Senin, 30 Mei 2016 pukul di RS Gunung Jati Cirebon. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman umum Gedongan tidak jauh dari makam KH. Muhamad Sa’ tahun 1969, Kiai Abu dijodohkan oleh KH. Mahrus Ali dengan Nyai Zaenab binti KH. Siradj, yaitu cucu dari KH. Muhamad Sa’id pendiri Pondok Pesantren Gedongan. Pernikahannya dengan Nyai Zaenab, Kiai Abu tidak dikaruniai Kiai Abu menikah kembali dengan Nyai Umul Banin binti H. Sanusi. Buah dari pernikahannya, beliau dikarunia tiga orang putra-putri. Anak-anak beliau diantaranya, Minnatul Maula lahir 1993, Abdul Wahhab lahir 1996, dan Ayu Fitriyah lahir 2001.PendidikanPada tahun 1949, Kiai Abu mulai masuk Sekolah Rakyat dan telah berhasil mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an 30 juz binadzar dihadapan ayahnya. Setelah itu beliau melanjutkan mengaji pada Kiai Syarif Pekalongan. Setelah mengkhatamkan al-Qur’an pada Kiai Syarif, pada tahun 1953 Kiai Abu mulai menghafal al-Qur’an di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah dibawah bimbingan Kiai Badawi dan selesai pada tahun Kiai Abu melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lirboyo yang saat itu diasuh oleh KH. Mahrus pesantrenSejarah pendirian Pondok Pesantren Madrasatul Huffadz 1 tidak terlepas dari kaitannya dengan Pondok Pesantren Gedongan yang telah dirintis oleh KH. Muhamad Said pada pertengahan abad awal didirikan, pondok pesantren ini adalah pesantren yang mengajarkan kitab-kitab salaf. Namun setelah KH. Abu Bakar Shofwan memperistri cucu KH. Muhamad Said yakni Nyai Hj. Zaenab binti KH. Siroj, ada warna baru dalam tradisi keilmuan Pondok Pesantren itu, Kiai Abu berinisiatif untuk mengambil adik perempuannya yakni Nyai Khadijah untuk dididik menghafal al-Qur’ saat itu kondisi Gedongan masih sangat sepi, geliat kegiatan keagamaan masyarakat pun belum terlalu terlihat, meskipun memang telah ada kegiatan pengajian kitab-kitab yang dibacakan oleh beberapa guru. Pada tahun 1973, Nyai Khadijah berhasil mengkhatamkan hafalan 30 juz Al-Qur’ Nyai Khadijah langsung membuat masyarakat terkesima lalu berbondong-bondong menitipkan putra-putrinya kepada Kiai Abu untuk dididik menjadi penghafal al-Qur’an. Melihat santri yang semakin banyak Kiai Abu membangun sebuah bangunan pesantren untuk menampung putra ditempatkan di langgar sedangkan santri putri ditempatkan di dalam pesantren. Seiring perkembangan jumlah santri yang terus meningkat, Kiai Abu kemudian membangun satu lokal tambahan berdekatan dengan bangunan pertama. Saat ini kedua bangunan tersebut digunakan sebagai asrama Pondok Pesantren Madrasatul Huffadz II asuhan cucu Nyai Kiai Abu wafat, Madrastul Huffadz I diasuh oleh Nyai Umul Banin yakni isteri Kiai Abu. Pada awalnya bangunan yang berada di belakang rumah Nyai Umul Banin tidak diniatkan untuk membangun pesantren. Kiai Abu hanya berniat membangun 3 kamar untuk ketiga anaknya. Namun setelah dimusyawarahkan, bangunan tersebut kemudian difungsikan sebagai asrama santri Madrasatul Huffadz I. Lantai satu ditempati oleh santri putra sedangkan lantai dua ditempati oleh santri santri putra dan putri disekat oleh tembok pembatas, sehingga meskipun berada di dalam bangunan yang sama santri putra dan putri tetap terpisah. Hingga saat ini Pondok Pesantren Madrasatul Huffadz I telah melahirkan ratusan alumni penghafal al-Qur’an yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia bahkan hingga ke negeri itu, menurut kesaksian KH. Aqil Siradj, Pondok Pesantren Madrasatul Huffadz 1 merupakan pesantren tahfizh pertama di Abu dimata masyarakat Gedongan adalah Kiai yang bersahaja dan dekat dengan rakyat, beliau juga dikenal sebagai Kiai yang dermawan, atau orang dusun Gedongan menyebutnya dengan istilah “Kiai Loman”. Banyak orang Gedongan yang sangat menykai Kiai Abu terutamanya orang-orang yang sering bersentuhan dengan beliau seperti tukang becak, tukang nangunan dan lain sebagainya. Panjangnyarambut syeikh Magelung Sakti ini sudah dapat restu dari beberapa ulama khosois seperti Syeikh Auliya Nur Ali, Syeikh Kamil Ahmad Trusmi, Syeikh Ahmad Sindang Laut, Syeikh Asnawi bin Subki Gedongan. Misteri lanjutkan kembali, dengan rasa bersemangat Moh. Daftar Isi Profil KH. Muhammad Sa’id Gedongan1. Kelahiran2. Keluarga3. Mendirikan Pesantren4. Murid-Murid5. Awal Kedatangan di Gedongan6. Hubungan Pesantren Gedongan dengan Pesantren LainnyaKelahiranKH. Muhamad Sa’id atau yang kerap disapa dengan panggilan Kiai Sa’id dilahirkan di Desa Pesawahan Sindanglaut Cirebon sekitar tahun 1800 an, belum ada yang mengetahui secara pasti tanggal, dan tahun beliau Muhamad Sa’id melepas masa lajanganya dengan menikahi Nyai Hj. MaemunahMendirikan PesantrenSebelum kepergiannya ke Gedongan Kiai Sa’id terlebih dahulu bermusyawarah dan memohon ijin kepada Sultan Kasepuhan Cirebon, karena tanah yang akan dijadikan tempat pengasingannya adalah milik ayahanda Kiai Sa’id atas pemberian Sultan. Sebagai kerabat keraton, Kiai Sa’id diizinkan menempati tanah hutan untuk tempat pengasingannya sinilah secara bertahap kepala keluarga dan bangunan rumah keluarga semakin bertambah, sehigga membentuk sebuah komunitas sosial dalam sebuah pedukuhan yang belakangan bernama pedukuhan Gedongan. Pesantren yang diasuh Kiai Sa’id pun menjadi masyhur dengan sebutan Pesantren murid-murid Kiai Sa’id berjumlah banyak, akan tetapi hanya beberapa saja yang tercatat dalam memori dan sejarah Pesantren Gedongan. Diantaranya adalah1. KH. Jauhari Mashur yang dijuluki Kiai Ijo, menetap di Pondok Pesantren Gedongan dengan tujuan mengaji kepada Kiai Muhammad Sa’id. Murid ini juga pernah mengaji kepada Kiai Sa’id dengan berjalan kaki selama 41 hari dari desa kelahirannya di daerah Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon, atas perintah Kiai Sa’id Kiai Ijo juga pernah menjalani perintah gurunya itu untuk tidak batal wudhu setiap hari dan tidak mengedipkan kedua matanya selam 41 KH. Siroj yang berasal dari Karangwareng Kecamatan Karang Sembung Kabupaten Cirebon. Murid yang berasal dari keluarga kaya ini mengaji di Pondok Pesantren Gedongan hingga putera terakhir Kiai Sa’id yang bernama Kiai Siroj masuk ke pelaminan. Bahkan pada acara pernikahan Kiai Siroj dengan puteri keturunan keraton Solo yang bernama Nyimas Fatimah Azzahro Kiai Siroj bersama Kiai Munawir yang sengaja datang dari Krapyak Jogjakarta ikut mengantar pengantin ke Solo. Sebelum wafat Kiai Siroj berpesan kepada para putera dan puterinya agar tidak memutuskan tali hubungan dengan para putera dan cucu Kiai Sa’id. Sehingga sampai saat ini hubunga keluarga Haji Siroj Karangwareng dengan keluarga Kiai Sa’id tetap terjalin dan terjaga dengan KH. Amin berasal dari desa yang sekarang bernama Kalimukti Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon. Murid Kiai Sa’id ini adalah orang yang senantiasa mendampingi Kiai Sa’id pergi dengan mengemudi dokar. Supir pribadi Kiai Sa’id ini adalah ayah kandung Kiai Mahrus Amin pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Kebayoran Lama Jakarta dan Pendiri Pesantren Madinnatunnajah yang tersebar di banyak daerah khususnya di Jawa Barat KH. Suchaimi, pendiri Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi Kabupaten Brebes. Santri Kiai Sa’id ini bersama mertuanya yang bernama Kiai Ambari dan saudaranya yang bernama Kiai Manshur setiap tahun selalu menyedekahkan sebagian dari hasil sawahnya kepada Kiai Sa’id. Padi diangkut dengan pedati kedua kuda dari Brebes menuju Gedongan. Hal ini berlangsung hingga periode Kiai Siroj putera bungsu Kiai Sa’id, menjadi sesepuh Pondok Pesantren Gedongan kini Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi menjadi salah satu pesantren yang dikenal di daerah Brebes dan sekitarnya dan memiliki santri cukup banyak. Pengasuhnya sekarang adalah para anak cucu Kiai Suchaimi dan Kiai Manshur antara lain Kiai Subhan Ma’mun dan Kiai Kholil Kedatangan di GedonganKedatangan Kiai Sai’d ke Gedongan untuk kemudian membangun pesantren di tempat itu beragam versi, ada yang menyatakan menghindari kejaran Belanda karena beliau terlibat dalam pemberontakan yang digagas Bagus Rangin dan Kesultanan Cirebon, adapula yang berpendapat beliau datang ke Gedongan semata-mata hanya untuk uzlah dan menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon yang dituturkan dari para Kiai di Gedongan menyebutkan bahwa kedatangan Kiai Sa’id ke Gedongan disertai istrinya Nyai Hj. Maemunah dan sejumlah santri ayahnya dan calon santri yang berminat mengaji kepada Kiai Sa’id ikut serta dalam pengasingan itu, jumlahnya 24 orang ditambah seorang pembantu laki-laki bernama Ngarpin dan pembantu perempuan bernama Kamal yang keduanya masih berusia Pesantren Gedongan dengan Pesantren LainnyaPondok Pesantren Gedongan termasuk pondok pesantren tertua di Cirebon dan memiliki hubungan erat dengan pesantren lainnya, hubungan kekerabatan itu dimiliki melalui jalur pernikahan kakak kandung Kiai Sa’id yaitu Ny. Maesaroh diperistri oleh Kiai Sholeh pendiri Pondok Pesantren Benda Kerep, sementara itu hubungan dengan buntet diperoleh melalui jalur isterinya Kiai Sa’id yaitu Ny. Maemunah yang merupakan kakak kandung Kiai Abas Buntet sejarah pesantren, ketiga pesantren yang masih memiliki hubungan kerabat ini ketika akan diserang Belanda sempat membuat bingung sang penjajah. Pondok Pesantren Gedongan tampak seperti lautan dan Pondok Pesantren Buntet tampak seperti tumpukan hubungan kekerabatan dengan dua pesantren tersebut, Pondok Pesantren Gedongan juga memiliki hubungan dengan sejumlah pesantren lain yang terjalin melalui jalur pernikahan antara anak-cucu Kiai Sa’id dengan anak-cucu tokoh-tokoh pendiri pesantren lain dan tinggal di luar Pondok Pesantren Gedongan. Sebagian dari mereka adalahKiai Nachrowi yang merupakan putera kedua Kiai Sa’id menikah dengan Ny. Humairoh puteri Kiai Sholeh Pondok Pesantren Benda Maksum Siraj dan Kiai Aqil Siraj cucu Kiai Sa’id, yang menikah dengan Ny. Rubai’ah dan Ny. Afifah puteri Kiai Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek Mahrus Ali menikah dengan Ny. Zainab puteri Kiai Abdul Karim pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Wow Buku Biografi Syaikh Yâsin al-Fâdani Sudah Terbit; Inilah Biografi Penulis Kitab Al Hikam; Mengenal Kepribadian Luhur Habib Anis Al-Habsyi; Biografi Al Habib Abubakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur; Biografi Imam Nawawi; Biografi Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'ari; Dialog Syaikh al-Sya'rawi dan Pemuda Radikal; Biografi KH. Muhammad Faqih
l Kang Said atau yang memiliki nama lengkap KH. said Agil Siradj merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang pernah menduduki ketua umum PBNU. Beliau lahir pada 03 Juli 1953, di Desa Kempek, Palimanan, Cirebon. Beliau merupakan putra kedua dari lima bersaudara, dari pasangan KH. Aqiel Sirodj dengan Hj. Afifah binti KH. Soleh Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek. Saudara-saudara beliau diantaranya, KH. Ja’far Shodiq, KH. Muhamad Musthofa, KH. Ahsin Syifa dan KH. Ni’ Said Aqil Siradj melepas masa lajangnya dengan menikah Nyai. Nur Hayati Abdul Qodir. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat orang anak, diantaranya, Muhammad Said Aqil, Nisrin Said Aqil, Rihab Said Aqil, dan Aqil Said Said Aqil Siradj kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. kepada ayahandanyalah, mula-mula ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri merupakan putra Kiai Sirodj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda.“Ayah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,” kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon ia rampungkan, dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Abdul Karim Mbah Manaf. Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH. Mahrus Ali, KH. Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH. Ali Maksum Rais Aam PBNU 1981-1984. Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH. Ali Maksum menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN sudah begitu, ia masih saja merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. “Pada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad Said, putra sulung Kang keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan “tanah Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan judul Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi Relasi Allah SWT dan Alam Perspektif Tasawuf. Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya – diantara para intelektual dari berbagai dunia – dengan predikat Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di Cipasung. Ketika itu, Gus Dur mempromosikan Kang Said dengan kekaguman “Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi” puji Gus hari, Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. “selain cakap dan cerdas, beliau juga sosok yang berani” ujarnya dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH. Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU – di dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya.“Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi. “Terus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,” tegas Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun menjadi mahasiswa, Kang Said terlibat aktif di organisasi Nahdlatul Ulama NU, di antaranya adalah menjadi Sekertaris PMII Rayon Krapyak Jogjakarta 1972-1974, Yogyakarta, dan menjadi Ketua Keluarga Mahasiswa NU KMNU Mekah pada tahun 1983-1987. Selain menjadi pengurus organisasi, ia juga mempunyai kegiatan lainnya, menjadi tim ahli bahasa Indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah di tahun 1991Sekembalinya dari Timur Tengah, bukan menjadi menurun, Kang Said malah makin aktif dalam dunia nasional. Keahliannya dalam kajian keislaman, membuatnya diminta menjadi dosen di berbagai kampus di dalam negeri. Di antaranya dia tercatat sebagai dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran PTIIQ, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1995. Bahkan dua tahun kemudian ia menjadi Wakil Direktur Universitas Islam hanya itu, Kang Said juga dipercaya menjadi Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia Gandi yang bergerak dalam raung lingkup lintas agama dan anti diskriminasi
BiografiKH Ali Maksum - KH. Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH.Ma'shum bin KH Ahmad Abdul Karim dengan Nyai. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang.. Keluarga KH Ali Maksum, sejak dari zaman kakek-kakeknya dahulu hingga sekarang adalah keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak Suasana di maqbaroh Kiai Said Gedongan sumber istimewa - Kiai Said Gedongan terkenal sebagai sosok kiai Cirebon yang mempunyai kesitiqamahan yang luar biasa. Salah satu keistiqamahan beliau adalah tidak pernah meninggalkan ngaji bersama para santri. "Siapapun yang bertamu saat Kiai Said muruk mengajar, tidak akan ditemui sampai selesai ngajinya," tutur KH. Wawan Arwani saat memberikan mauidzhoh di acara haul KH. Muhammad Said Gedongan ke 88, Cirebon, Sabtu 13/04/19 malam. Kiai Wawan, yang juga keturun Kiai Said menceritakan, suatu hari seorang Resident Belanda mendatangi kediaman Kiai Said di Gedongan. Pada waktu itu, beliau sedang mengajar kitab hadist. Kiai Said tidak menemui Resident Belanda tersebut hingga selesai mengajar para santri. Melihat respon Kiai said seperti itu, sang resident pun merasa kesal dan sempat protes kepada beliau. "Jare kiai iku kiai ngormati tamu. Tapi kenapa saya datang ke sini untuk ketemu kiai, tidak ditemui" kata kiai wawan ketika menceritakan ucapan residen kala itu. Mendengar protes dari sang resident, kata kiai wawan, Kiai Said menjelaskan kalau ia sedang bertemu dengan orang yang paling terhormat Red, Nabi Muhammad SAW. "Ya Allah, Kiai Said muruk hadist. Karena itu, beliau luar biasa hudur dateng kanjeng Nabi Muhammad SAW," terang Kiai yang menjabat Rais Syuriah PCNU Cirebon tersebut. [
Takkenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa itu tepat untuk menggambarkan keadaan Indonesia akhir-akhir ini, dimana orang tak hanya tak kenal dan tak sayang, tetapi bahkan justru memfitnah, membenci dan memaki, dengan orang yang belum dikenalnya di media. Tak terkecuali, berbagai fitnah, berita palsu (hoax) dan makian yang dialamatkan kepada Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA, Ketua Umum
Biografi KH. Muhamad Said Gedongan-Gedongan adalah nama lingkungan pesantren sekaligus juga nama sebuah dusun/blok. Pesantren Gedongan adalah salah satu Pesantren tua yang ada di wilayah timur Cirebon, tepatnya berada di Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon. Pada tahun 1990an, ketika Kecamatan Astana Japura dimekarkan pada tahun 2000an, Desa Ender termasuk didalamnya Dusun Gedongan masuk pada wilayah Kecamatan Pangenan. Berbicara mengenai Pesantren dan Dusun Gedongan, eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari satu tokoh yang mendirikannya, adapun pendiri Pesantren Gedongan adalah KH Muhamad Said, Kiai asal Desa Tuk versi lain Pesawahan Sindanglaut Kabupaten Cirebon. Kiai Muhamad Said merupakan putra dari KH. Murtasim. Sebelum kedatangan KH Muhamad Said, Gedongan dikisahkan masih berbentuk hutan, Kiai Said sendiri datang ke daerah Gedongan diperkirakan pada tahun 1800an. Beliau datang bersama istri dan beberapa santri ayahnya yang sengaja ia bawa untuk membuka perkampungan Juga Kai Muhamad Said, Pendiri Pesantren GedonganMakam KH Muhamad Said GedonganIdentifikasi Masa Hidup KH. Muhamad SaidBelum ada kepastian mengenai kapan Kiai Said dilahirkan, hanya saja, berdasarkan catatan sejarah, bahwa salah satu anak KH Said, yang bernama KH Siraj dikisahkan lahir pada tahun apabila Kiai Said ketika anaknya lahir berumur 25-30 tahun, maka tahun kelahiran Kiai Said kira-kira antara tahun 1857/ masa hidup Kiai Said apabila umurnya mencapai 60 tahun, maka beliau hidup dari tahun 1857 hingga 1917, selanjutnya apabila beliau dilahirkan pada 1857, maka masa hidupnya dari tahun dari masa hidupnya Kiai Said, jelas bahwa masa hidup Kiai Said adalah pasca Perang Santri Perang Kedongdong 1806-1818, dengan demikian, masa hidup Kiai Said sebenarnya masa ketika Cirebon sudah berdamai dengan Belanda. Hanya saja memang dalam catatan sejarah, antara tahun 1913-1918 Cirebon sedang geger perang Santri Vs etnis Cina Tragedi Kucir 1913. Tidak diketahui secara pasti apakah Kiiai Said terlibat dalam peristiwa ini atau tidak, mengingat dalam sejarahnya banyak Para Kiai terkemuka yang terlibat dan menyetujui konflik dalam Tragedi Kucir 1913Silsilah KH Muhamad Said GedonganSecara silsilah, Kiai Said masih keturunan Nabi Muhamad, sebab nasab Kiai Said bersambung dengan Sunan Gunung Jati. Berikut ini adalah silsilah Kiai Said Gedongan menurut data yang penulis peroleh dari artikel "Silsilah KH. Said Aqil Siraj"."1 Muhammad Said Gedongan bin 2 KH Murtasim bin 3 KH Nuruddin bin 4 KH Ali bin 5 Tubagus Ibrahim bin 6 Abul Mufakhir Majalengka bin 7 Sultan Maulana Mansur Cikaduen bin 8 Sultan Maulana Yusuf Banten bin 9 Sultan Maulana Hasanuddin bin 10 Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati"Berdasarkan silsilah di atas, dapat dimengerti jika Kiai Said Gedongan adalah generasi kesepuluh dari keturunannya Sunan Gunung Jati Cirebon, Sultan Cirebon pertama sekaligus anggota wali Songo. Istri dan Anak KH Muhamad Said GedonganSelama hidupnya KH Muhamad Said dikisahkan hanya menikah satu kali dengan wanita yang bernama Nyai Hj Maimunah, yaitu kakak kandung dari Kiai Abas yang berasal dari Buntet Pesantren, dengan demikian istri Kai Said adalah putri dari KH Abdul Jamil bin Kiai Mutaa'd bin Mbah Muqoyim. Mengani anak-anak Kiai Said, penulis untuk sementara waktu hanya memperoleh tiga nama, yaitu 1 KH. Abdul Karim, dan 2 KH Siraj 3 Nyai Hasinah. Kelak baik anak dan cucu Kiai Siad banyak menjalin hubungan keluarga dengan beberapa Kiai ataupun pengasuh pesantren baik yang ada di Cirebon maupun di luar Cirebon seperti Pesantren Kempek, Bunten, Benda, Krapyak di Yogyakarta, Pesantren Lirboyo di Kediri dan lain sebagainya. Kedatangan KH. Muhamad Said ke GedonganAda beberapa versi seputar kedatangan Kiai Said ke Gedongan, akan tetap pada umumnya kedatangan Kiai Said kegedongan dikisahkan sambil membawa istri disertai dua orang pembantu dan 26 santri bapaknya yang bersedia mengabdi kepada Kiai Said untuk membuka perkampungan dan pesantren di suatu hutan, hutan yang dimaksud adalah semacam tanah perdikan hadiah dari Sultan oleh 26 santrinya itu, dibangun perkampungan yang nantinya disebut Gedongan. Dikampung itu pula Kiai Said mendirikan surau/tajug untuk tempat mengajarkan agama. Lambat laun Kiai Said banyak didatangi murid-murid baru hingga membentuk pesantren, selanjutnya anak cucu Kiai Said mendirikan pesantren di tempatnya masing-masing dalam wilayah dusun Gedongan sehingga jangan heran jika di Gedongan banyak sekali pesantren. Disana hampir setiap anak cucu Kiai Said mendirikan pesantrennya masing-masing. Wafatnya KH Muhamad SaidTidak ada penjelasan pasti mengenai bagaimana KH Muhamad Syaid wafat, akan tetapi banyak yang beranggapan jika KH Muhamad Said wafat secara normal karena usia. Setelah wafat Kiai Said dimakamkan di Komplek pemakaman dusun Gedongan. Makamnya hingga kini terus diziarahi oleh banyak orang, terutama para santri dari seluruh pesantren Gedongan, biasaya ziarah ke makamya dilaksanakan pada hari jumat. Baca Juga Ketika Pesantren Gedongan Ditipu
Itujuga warisan dari sosok pendiri Pondok Gedongan Kiai Muhammad Said. Ia salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Cirebon. Menurut buku Meneguhkan Islam Nusantara, Biografi Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj Kiai Said menyebarkan moderasi Islam sebagaimana ajaran Walisongo. Biografi dan Latar Belakang Pendidikan Rahmah adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus Al-Khalidiyah dan Rafiah yang memiliki dua kakak perempuan dan dua kalak laki-laki. Keluarga ini penganut Islam yang taat. Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. la bekerja sebagai kadi Hakim di Pandai Sikek, 5 km dari Padang Panjang. Sedangkan ibunya, Rafiah, punya hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama, pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19. Ketika berusia enam tahun, Rahmah ditinggal wafat ayahnya pada usia 60 tahun. Sehingga untuk tetap mendapatkan pendidikan, keluarganya memilihkan salah seorang murid ayahnya sebagai guru mengaji Rahmah bersama dua kakaknya yang pernah belajar di sekolah desa dan mengajarkan Rahmah baca tulis Arab dan Latin. Menginjak usia 10 tahun, Rähmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. la mengambil perbandingan dari kajian yang diikutinya, berpindah-pindah ke berbagai surau yang ada di Padang Panjang. Rahmah dan beberapa temannya juga mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah ayah Buya Hamka di Surau Jambatan Basi. Mereka tercatat sebagai murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jambatan Basi, sebagaimana dicatat oleh Hamka. Hamka dalam Ayahku Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera 1982 menggambarkan sosok Rahmah El Yunusiyah sebagai perempuan muslim revolusioner dan pantang menyerah. Rahmah biasanya tak sendirian. Ia kerap datang bersama tiga sahabatnya, yakni Rasuna Said, Siti Nansiah, dan Djawana Basyir. Di antara mereka berempat, ia tampak sebagai pemimpinnya. “Boleh dikatakan bahwa sebelum itu, belumlah ada kaum perempuan yang belajar agama, nahwu-sharaf, fiqih, dan ushul-nya, Sebelum itu, kaum perempuan baru belajar dalam pengajian umum,” demikian tulis Hamka. Konsistensi Rahmah dalam Menutup Aurat Sepanjang hidupnya, Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung dan mudawarah. Anggota Konstituante Zamzami Kimin menulis bagaimana Rahmah memberi perumpamaan menutup aurat dengan membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan jualannya terbuka sementara yang satu lagi menutupi jualannya dengan rapi, takut dihinggapi debu yang beterbangan. “Kalau sekiranya saudara ingin membeli jualan itu yang manakah yang akan saudara beli,” tulis Zamzami menirukan ucapan Rahmah. Selain itu, Rahmah telah menampilkan ciri khas anak-anak putri dengan pakaian khas diniyah, kerudung putih yang mereka lilitkan di kepala, baik di ruangan kelas maupun di halaman sekolah. “Bila masyarakat melihat gadis atau wanita memakai mudawarah, baju kurung membalut tubuh, sehingga yang kelihatan hanya tangan, muka, dan kaki, maka dengan spontan mereka menyebut, itulah dia murid-murid Rahmah El Yunusiyah,” tulis Zamzami. Berdirinya Madrasah Perempuan Pertama di Nusantara Pada tanggal 1 November 1923, sejarah mencatat berdirinya perguruan untuk perempuan Islam pertama di Indonesia yakni Madrasah Diniyah Puteri al-Madrasah ad-Diniyyah lil Banat di Padang Panjang, Sumatra Barat. Tujuan pendidikan Diniyah Puteri yang la kembangkan adalah, “Membentuk putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan Tanah Air atas dasar pengabdian kepada Allah Swt.” Dua teman Rahmah, Siti Nansiah dan Djawana Basyir, termasuk guru terawal. Sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Mulanya ada 71 orang murid yang kebanyakan ibu muda. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Sekolah Diniyah Puteri berkembang pesat, jumlah muridnya pun makin lama kian bertambah banyak. Tercatat, pada tahun 1928 Diniyah Puteri memiliki sedikitnya 200 murid. Pada 1925, Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Puteri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis. Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama. Selain Diniyah Puteri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal. Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang peserta. Pada awal 1926, karena kapasitas asrama yang disediakan di tingkat dua gedung tak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan secara gotong royong. Dalarn buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Puteri dicatat, para murid Diniyah Puteri bersama-sama pelajar dari Diniyah School dan Thawalib mengangkat batu dari sungal yang berjarak 2,5 kilometer dari sekolah untuk membangun fondasi gedung. Sayangnya, ketika Diniyah Puteri baru berumur tiga tahun, ujian berat datang mendera. Ini sekaligus untuk melihat bagaimana sikap dan komitmen Rahmah terhadap gagasan dan cita-citanya. Ujian itu adalah pada 28 Juni 1926 gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padang Panjang, meruntuhkan gedung lama beserta fondas gedung baru yang sedang dibangun. Siti Nanisah, salah seorang guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan. Gempa ini tercatat sebagai gempa cukup dahsyat melanda Padang Panjang dan sekitarnya. Gempa bumi mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar Diniyah Puteri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padang Panjang, seluruh murid Diniyah Puteri mengungsi keluar kota. Rahmah menyaksikan orang-orang meninggalkan Padang Panjang mengungsi ke daerah sekitar yang lebih aman. Praktis kegiatan belajar mengajar terganggu. Dua tahun pasca-gempa, Allah memberikan hikmah yang luar biasa. Perkembangan Diniyah Puteri mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tercatat muridnya sudah mencapal 200 orang Jumlah itu, sebagaimana dicatat oleh Dellar Noer, bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935. Untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kurikulum sekolah, Rahmah melakukan studi banding melalui kunjungan sekolah ke Sumatra dan Jawa 1931. Selanjutnya ia juga mendirikan Freubel School Taman Kanak-kanak, Junior School setingkat HIS. Sekolah Diniyah Puteri sendiri diselenggarakan selama 7 tahun secara berjenjang dari tingkat ibtidaiyah 4 tahun sampai tsanawiyah 3 tahun. Pada tahun 1937 berdiri program Kulliyyatul Mu’allimat al Islamiyyah 3 tahun yang diperuntukkan bagi calon guru. Perempuan Agamis Yang Nasionalis Pernah suatu ketika pemerintah kolonial hendak menawarkan subsidi pada lembaga yang didirikan Rahmah, akan tetapi dengan tegas dan berani, dia menolaknya. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak ingin menjadi bawahan penjajah dan terikat pada aturan mereka. Rahmah sangat membenci penjajahan dan la adalah nasionalis sejati. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam berbagai aktivitas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sampai hari ini Diniyah Puteri telah melahirkan ribuan perempuan yang pintar sekaligus membuktikan jika dalam urusan belajar, laki- laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapat perhatian luas. Ketika pemerintah kolonial berencana memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar yang akan mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah kolonial ditutup, Rahmah memimpin panita penolakan di Padang Panjang pada 1933. Dia dituduh membicarakan politik sehingga membuatnya didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Puteri. Tiga orang guru Diniyah Puteri Kanin RAS, Chasjiah dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar dengan kesalahan yang dicari-cari. Pada 1938, la hadir dalam rapat umum di Bukittinggi untuk menentang Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kotaraja. Aceh. la dipandang oleh ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di pulau Sumatra Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cao Sangs In Muhammad Sjafiri, Rahmah segera mengerek bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Puteri. la tercatat sebagal orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatra Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkobar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok kota dan luar daerah. Menjadi Perempuan Pertama Bergelar Syekhah’ Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji la mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan Syekhah’ dari Universitas Al-Azhar. Itu untuk pertama kalinya Al-Azhar memberi gelar kehormatan syekh pada perempuan. Hamka mencatat, Diniyah Puteri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kulliyah Lil Banat, bagian Universitas Al- Azhar yang dikhususkan untuk putri pada 1962. Hadirnya sosok Rahmah adalah refleksi ideal seorang muslimah untuk setiap zaman. la adalah pejuang yang memiliki cita-cita tinggi. progresif, dan visioner. la berharap kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat tak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak atau keturunan, juga terangkatnya derajat kaum perempuan ke tempat yang lebih proporsional. Rahmah membuktikan bahwa perempuan mampu memberi peran dan kontribusi terhadap peradaban. Dia harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, dan sebagai anggota masyarakat. Kaum perempuan harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam. Semuanya harus melalui pendidikan dan pengajaran. Perempuan harus terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitarnya. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, nasibnya tak akan berubah. Karena itu Rahmah berpendapat, perempuan harus mendapatkan akses pendidikan yang sama sebagaimana kaum laki-laki. Hak untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Dari kisah kehidupannya dapat disimpulkan bahwa Rahmah El Yunusiyah merupakan sosok pejuang perempuan dengan motivasi yang tinggi dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pendidikan kaumnya. Perjuangannya berjuang berdasarkan ide-ide yang ia yakini bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah. Rahmah El Yunuslyah adalah tokoh ulama perempuan Nusantara yang telah jelas melakukan perjuangan dalam pendidikan perempuan Dengan menelaah pemikiran pembaharuannya dapat memberi gambaran bahwa perempuan juga dapat berkiprah dalam ranah publik dan lingkungan sosial tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai istri maupun ibu. Menjelang Wafatnya Pada 1964, Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Puteri. Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Rahmah menemui alumni Diniyah Puteri di beberapa negara bagian Malaysia didampingi Datin Sakinah, alumni Diniyah Puteri asal Perak yang tinggal di Kelantan bersama suaminya, Datok Mohammad Asri yang merupakan menteri besar Kelantan. Mereka menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang semakin menurun. Perjuangan seorang Rahmah El Yumusiyah dalam memajukan pendidikan kaumnya adalah perjuangan yang menuntut konsistensi tingkat tinggi. Walau menderita penyakit cukup berat, sehari menjelang ajalnya ia masih sempat menemui Gubernur Sumatra Barat waktu itu Harun Zain, berharap pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, “Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai di leher. Tolonglah Pak Gubernur Sekolah Diniyah Puteri dilihat-lihat dan diperhatikan.” Keesokan harinya setelah selesai mengambil air wudhu untuk shalat Magrib, ia kembali kepada Sang Pencipta, la wafat pada 26 Februari 1969, dalam usia 69 tahun, Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya di sisi barat Asrama Diniyah Puteri yang beliau dirikan. Setelah Rahmah wafat, kepemimpinan Diniyah Puteri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Puteri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006. Sumber Ensiklopedi Ulama Nusantara AyahKang Said, KH Aqil Siroj, adalah pengasuh Pesantren Kempek, salah satu pesantren penting dalam sejarah Cirebon dan Indonesia. Dalam satu tahun (2017 - 2018 ), Presiden Joko Widodo dua kali datang di Pesantren Kempek. Kiai Aqil (ayah Kang Said) mewarisi darah ulama dari Pesantren Gedongan, timur Cirebon.

Daftar Isi 1. Riwayat Hidup dan Riwayat Wafat 2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Guru-guru 3. Kisah Teguh dalam Memiliki semangat yang Istiqomah dalam Ibadah 4. Mengasuh Pesantren 5. Referensi 1. Riwayat Hidup LahirKH. Ja’far Shodiq Aqil Siroj, akrab dipanggil Buya Ja’far oleh para santrinya lahir di komplek Pondok Pesantren Kempek Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon pada tanggal 1 Juni 1951, beliau merupakan anak sulung dari 5 bersaudara pasangan KH. Aqil Siroj Pondok Pesantren Gedongan, Cirebon dengan Ny. Hj. Afifah Harun, putri pendiri Pondok Pesantren Kempek, KH. Harun Abdul antara saudara-saudara beliau adalah KH. Said Aqil Siroj Ketua Umum PBNU Masa Khidmah 2010-2021, KH. Muhammad Mushtofa Aqil Siroj, KH. Ahsin Syifa Aqil Siroj KH. Niamillh Aqil Siroj. Riwayat KeluargaKH. Ja’far Shodiq Aqil Siroj menyempurnakan separuh agamanya dengan menikahi Ibu Ny. Hj. Daimah binti KH. Nashir Abu Bakar yang merupakan sepupu beliau dari jalur ibu, dari pernikahan ini beliau dikaruniai putra dan putra yang kelak menjadi penerusnya, yakni Ny. Hj. Tho’atillah Ja’far KH. Ahmad Zaeni Dahlan, Lc., Izzat Muhammad Abir Azra Larasati KH. Muhammad bin Ja’far Ny. Najhah Barnamij binti KH. Bisyri Imam Gedongan Ummu Aiman Ja’far KH. Ahmad Nahdli bin Ja’far Ny. Upi Diana Sari, Kaliwungu Aqilah Ja’far Ust. Ashif Shofiyullah, Hamid bin Ja’far NasabBerdasarkan silsilah nasab KH. Ja’far Shodiq Aqil Siroj, beliau masih merupakan dzurriyah Rasullullah yang ke-32 dengan urutan nasabnya sebagai berikut Nabi Muhammad SAW Fatimah Az-Zahra Al-Imam Sayyidina Hussain Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Isa Naqib Ar-Rumi bin Ahmad al-Muhajir bin Sayyid Al-Imam Ubaidillah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin Muhammad Sohib Mirbath Hadhramaut Sayyid Alawi Ammil Faqih Hadhramaut bin Sayyid Amir Abdul Malik Al-Muhajir Nasrabad, India bin Sayyid Abdullah Al-’Azhomatul Khan bin Sayyid Ahmad Shah Jalal Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid Syaikh Jumadil Qubro Jamaluddin Akbar Al-Khan Al Husein bin Sayyid Ali Nuruddin Al-Khan Ali Nurul Alam Sayyid Umdatuddin Abdullah Al-Khan bin Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah Pangeran Pasarean Pangeran Muhammad Tajul Arifin Pangeran Dipati Anom Pangeran Suwarga atau Pangeran Dalem Arya Cirebon Pangeran Wirasutajaya Adik Kadung Panembahan Ratu Pangeran Sutajaya Sedo Ing Demung Pangeran Nata Manggala Pangeran Dalem Anom Pangeran Sutajaya ingkang Sedo ing Tambak Pangeran Kebon Agung Pangeran Sutajaya V Pangeran Senopati Pangeran Bagus Pangeran Punjul Raden Bagus atau Pangeran Penghulu Kasepuhan Raden Ali Raden Muriddin KH. Raden Nuruddin KH. Murtasim Kakak dari KH Muta’ad leluhur pesantren Benda Kerep dan Buntet KH. Said Pendiri Pesantren Gedongan KH. Siradj KH. Aqil KH. Ja’far Shodiq WafatKH. Ja’far Shodiq Aqil Siroj kembali keharibaanAllah SWT pada hari Selasa tanggal 1 April 2014 atau bertepatan dengan tanggal 1 Jumadil Akhir 1435 H pukul WIB, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat RSPAD Gatot Soebroto Jakarta karena sakit. 2. Sanad Ilmu dan Pendidikan PendidikanKH. Ja’far Shodiq Aqil Siroj mengawali pendidikannya dengan mengaji di Pondok Pesantren Kempek sampai mengkhatamkan Al-Qur’an kepada paman beliau, KH. Umar Sholeh dan Alfiyah Ibn Malik dibawah bimbingan ayahanda beliau langsung yakni, KH. Aqil Siroj, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di beberapa pesantren seperti Pondok Pesantren Lirboyo 3 Tahun Pondok Pesantren Sarang 1 Tahun Pondok Pesantren Tanggir 3 Tahun Ngaji Pasaran Ngalap Berkah di Ponpes Mranggen, Salatiga, Kaliwungu dan ponpes lain di Jawa Timur Guru-guru KH. Aqil Siroj Kempek KH. Umar Sholeh Kempek KH. Mahrus Ali Lirboyo KH. Marzuki Dahlan Lirboyo 3. Kisah Teladan Teguh dalam pendirianSetelah ayahanda, Kyai Haji Aqiel Siroj berpulang ke Rahmatullah, kepemimpinan pesantren diambil alih olehnya, sebagai anak yang pertama beliau memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengasuh Pondok Pesantren KHAS dulu MTM dan terlebih lagi keluarga. Hal ini sesuai dengan dawuh adiknya, yakni Romo Kyai Haji Musthofa Aqielالولد الاكبر فى منزلة الاPutra sulung itu kedudukannya seperti BapakDalam menjalani amanat tersebut, Buya Ja’far adalah sosok yang tegas dalam memilih. Ia tidak berbelit-belit dan bila sudah berkata A beliau akan tetap dalam keteguhanya mengatakan A. Memiliki semangat yang tinggiBuya Ja’far juga dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat yang tinggi dalam hidup dan seorang pekerja keras. Beliau pernah berpesan pada santrinya agar terus bekerja keras untuk mengejar cita-citanya. “Jangan berharap sukses jika tidak mau capek dan lelah,” pesan Buya Ja’far pada santri-santrinya. Semangat ini juga lah yang membawa pesantren KHAS Kempek di tangan beliau mengalami kemajuan pesat, hingga menghasilkan banyak perkembangan. Di antara perkembangan tersebut adalah sebagai berikut Pada tahun 1996, ponpes KHAS Kempek yang waktu itu masih bernama Majelis Tarbiyatul Mubtadiien membuka sekolah MTs Terbuka untuk mengikuti tuntutan perkembangan zaman, yakni wajib belajar formal 9 tahun kala itu. Dan pada tahun 2002, sekolah terbuka tersebut resmi menjadi MTs KHAS Kempek. Setelah itu, dibangun pula MA KHAS Kempek pada tahun 2003 dan SMP KHAS Kempek pada tahun 2009. Pada awalnya, pesantren Kempek didirikan khusus untuk para santri yang fokus mengkaji kitab kuning. Akan tetapi kalau zaman sekarang pondok pesantren masih seperti itu, maka kemungkinan besar minat santri untuk belajar di Kempek akan semakin berkurang karena disamping santri yang notabanenya adalah mengkaji kitab kuning juga harus mengikuti perkembangan dari inisiatif itulah, Abuya Ja’far mereformasi untuk kegemilangan pesantren Kempek dengan menambahkan kurikulum wajib belajar formal. JujurDawuh beliau yang populer adalah “Santri aja bulit, aja menang dewek”. Santri jangan curang, jangan menang ini jarang dimiliki oleh orang lain. Sampai orang terdekatnya pun mengakui bahwa beliau adalah sosok yang sangat jujur. Saking jujurnya beliau tak pernah sembarangan dalam mengatur keuangan. Uang pondok yang dipegang oleh beliau sangat rapih dan tertib tak pernah disatukan dengan uang milik pribadinya, agar lebih berhati hati dalam menggunakan hak milik sendiri. KH. Muh. Musthofa Aqiel pernah menyebutkan hadis Nabi yang berbunyiعَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ اِلَى الْبِرِّ اِنَّ الْبِرِّيَهْدِيْ اِلَى الْجَنَّةِ رواه البخارى ومسلمArtinya “Hendaknya kamu selalu jujur karena kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu akan membawa ke dalam surga.” HR. Bukhari dan MuslimDan oleh karena itu, Kang Muh yakin Bahwa Buya Ja’far adalah dari penduduk surga. Istiqamah dalam ibadah“Isun bli bisa niru istiqomahe buya Ja’far,” Begitulah pernyataan dari KH. Muh. Musthofa Aqiel saat menggambarkan sosok Buya Ja’far yang sangat istikamah dalam beribadah, termasuk sholat tahajud. Waktu selalu beliau jadwal dan dilakukan dengan istikamah. Setiap jam 11 malam beliau istirahat dan jam 3 pagi bangun, lalu beliau sholat tahajjud dengan tak lupa mendoakan santri santrinya agar di-futuh-kan hatinya dan diberkahi hidupnya. Setiap setelah shalat Shubuh berjama’ah, Buya Ja’far juga sangat istikamah membaca 1000 kali shalawat kepada Nabi Muhammad bersama santri-santrinya. Hal ini merupakan salah satu keistikamahan beliau yang sangat terkenang di hati para santrinya. Terlebih Buya Ja’far pernah dawuh ”Dengan rajin bersholawat, yang kita usahakan dan cita-citakan, insyaallah akan tercapai.” 4. Pengabdian Mengasuh PesantrenSetelah ayahanda beliau wafat, KH. Ja’far Shodiq Aqil Siroj diberi amanah untuk melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren yang pada saat itu masih bernama Majlis Tarbiyatul Mubtadiin MTM yang masih merupakan satu kesatuan dengan Pondok Pesantren Kempek. Di mana seiring berjalannya waktu kemudian menjadi Pondok Pesantren KHAS Kempek, Dan untuk menaungi MTM ini, beliau bersama adik-adiknya yakni Prof. DR. KH. Said Aqil Siroj, MA Ketua Umum PBNU Th. 2010-2021, KH. Moh. Musthofa Aqil Siroj, Al-Maghfurlah KH. Ahsin Syifa Aqil Siroj dan KH. Ni’amillah Aqil Siroj, kemudian pada tahun 1995 mendirikan Yayasan Kyai Haji Siroj KHAS dalam perkembangan selanjutnya sekarang Yayasan tersebut memiliki beberapa unit pendidikan yakni Madrasah Tahdzibul Mutsaqofien MTM Putra dan Putri Madrasah Tsanawiyah MTsS KHAS Kempek, tahun 2002 Madrasah Aliyah MAS KHAS Kempek, tahun 2003 Sekolah Menengah Pertama SMP S KHAS Kempek, tahun 2009 Majlis Dirosah Ilmiah Al-Ghadier, tahun 2009 Sekolah Menengak Kejuruan SMK KHAS Kempek Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan STIKES KHAS Kempek Sekolah Tinggi Agama Islam STAI KHAS Kempek Di samping kesibukan KH. Ja’far Shodiq dalam mengasuh dan mengembangkan pesantrennya, beliau juga turut aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan, sosial maupun politik, hal ini salah satunya dibuktikan dengan kesuksesan beliau dalam menyelenggarakan dan menjadi tuan rumah MUNAS Alim Ulama dan KONBES NU pada tahun 2012 dan beberapa jabatan yang diamanahkan kepada beliau hingga ahir hayatnya, diantaranya Pengasuh Majlis Tarbiyatul Mubtadiin Pon. Pes. KHAS Kempek Ketua Yayasan KHAS Ketua MUI kabupaten Cirebon Wakil Rais Syuriah Jawa Barat 5. Referensi

H9SDyT.
  • wucl2uxw9m.pages.dev/158
  • wucl2uxw9m.pages.dev/369
  • wucl2uxw9m.pages.dev/380
  • wucl2uxw9m.pages.dev/373
  • wucl2uxw9m.pages.dev/104
  • wucl2uxw9m.pages.dev/98
  • wucl2uxw9m.pages.dev/28
  • wucl2uxw9m.pages.dev/237
  • wucl2uxw9m.pages.dev/155
  • biografi kh said gedongan