Padazaman dahulu ziarah dipahami yaitu untuk meneruskan kebiasaan lama, yaitu pemujaan selain Allah yang kemudian dilarang dalam ajaran Islam. (Soekmono,1973:85). Makam Sultan Hadiwijaya sebagai salah satu tempat wisata letaknya di Desa Gedongan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen yang biasanya ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai
Biografi KH. Muhamad Said Gedongan-Gedongan adalah nama lingkungan pesantren sekaligus juga nama sebuah dusun/blok. Pesantren Gedongan adalah salah satu Pesantren tua yang ada di wilayah timur Cirebon, tepatnya berada di Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon. Pada tahun 1990an, ketika Kecamatan Astana Japura dimekarkan pada tahun 2000an, Desa Ender termasuk didalamnya Dusun Gedongan masuk pada wilayah Kecamatan Pangenan. Berbicara mengenai Pesantren dan Dusun Gedongan, eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari satu tokoh yang mendirikannya, adapun pendiri Pesantren Gedongan adalah KH Muhamad Said, Kiai asal Desa Tuk versi lain Pesawahan Sindanglaut Kabupaten Cirebon. Kiai Muhamad Said merupakan putra dari KH. Murtasim. Sebelum kedatangan KH Muhamad Said, Gedongan dikisahkan masih berbentuk hutan, Kiai Said sendiri datang ke daerah Gedongan diperkirakan pada tahun 1800an. Beliau datang bersama istri dan beberapa santri ayahnya yang sengaja ia bawa untuk membuka perkampungan Juga Kai Muhamad Said, Pendiri Pesantren GedonganMakam KH Muhamad Said GedonganIdentifikasi Masa Hidup KH. Muhamad SaidBelum ada kepastian mengenai kapan Kiai Said dilahirkan, hanya saja, berdasarkan catatan sejarah, bahwa salah satu anak KH Said, yang bernama KH Siraj dikisahkan lahir pada tahun apabila Kiai Said ketika anaknya lahir berumur 25-30 tahun, maka tahun kelahiran Kiai Said kira-kira antara tahun 1857/ masa hidup Kiai Said apabila umurnya mencapai 60 tahun, maka beliau hidup dari tahun 1857 hingga 1917, selanjutnya apabila beliau dilahirkan pada 1857, maka masa hidupnya dari tahun dari masa hidupnya Kiai Said, jelas bahwa masa hidup Kiai Said adalah pasca Perang Santri Perang Kedongdong 1806-1818, dengan demikian, masa hidup Kiai Said sebenarnya masa ketika Cirebon sudah berdamai dengan Belanda. Hanya saja memang dalam catatan sejarah, antara tahun 1913-1918 Cirebon sedang geger perang Santri Vs etnis Cina Tragedi Kucir 1913. Tidak diketahui secara pasti apakah Kiiai Said terlibat dalam peristiwa ini atau tidak, mengingat dalam sejarahnya banyak Para Kiai terkemuka yang terlibat dan menyetujui konflik dalam Tragedi Kucir 1913Silsilah KH Muhamad Said GedonganSecara silsilah, Kiai Said masih keturunan Nabi Muhamad, sebab nasab Kiai Said bersambung dengan Sunan Gunung Jati. Berikut ini adalah silsilah Kiai Said Gedongan menurut data yang penulis peroleh dari artikel "Silsilah KH. Said Aqil Siraj"."1 Muhammad Said Gedongan bin 2 KH Murtasim bin 3 KH Nuruddin bin 4 KH Ali bin 5 Tubagus Ibrahim bin 6 Abul Mufakhir Majalengka bin 7 Sultan Maulana Mansur Cikaduen bin 8 Sultan Maulana Yusuf Banten bin 9 Sultan Maulana Hasanuddin bin 10 Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati"Berdasarkan silsilah di atas, dapat dimengerti jika Kiai Said Gedongan adalah generasi kesepuluh dari keturunannya Sunan Gunung Jati Cirebon, Sultan Cirebon pertama sekaligus anggota wali Songo. Istri dan Anak KH Muhamad Said GedonganSelama hidupnya KH Muhamad Said dikisahkan hanya menikah satu kali dengan wanita yang bernama Nyai Hj Maimunah, yaitu kakak kandung dari Kiai Abas yang berasal dari Buntet Pesantren, dengan demikian istri Kai Said adalah putri dari KH Abdul Jamil bin Kiai Mutaa'd bin Mbah Muqoyim. Mengani anak-anak Kiai Said, penulis untuk sementara waktu hanya memperoleh tiga nama, yaitu 1 KH. Abdul Karim, dan 2 KH Siraj 3 Nyai Hasinah. Kelak baik anak dan cucu Kiai Siad banyak menjalin hubungan keluarga dengan beberapa Kiai ataupun pengasuh pesantren baik yang ada di Cirebon maupun di luar Cirebon seperti Pesantren Kempek, Bunten, Benda, Krapyak di Yogyakarta, Pesantren Lirboyo di Kediri dan lain sebagainya. Kedatangan KH. Muhamad Said ke GedonganAda beberapa versi seputar kedatangan Kiai Said ke Gedongan, akan tetap pada umumnya kedatangan Kiai Said kegedongan dikisahkan sambil membawa istri disertai dua orang pembantu dan 26 santri bapaknya yang bersedia mengabdi kepada Kiai Said untuk membuka perkampungan dan pesantren di suatu hutan, hutan yang dimaksud adalah semacam tanah perdikan hadiah dari Sultan oleh 26 santrinya itu, dibangun perkampungan yang nantinya disebut Gedongan. Dikampung itu pula Kiai Said mendirikan surau/tajug untuk tempat mengajarkan agama. Lambat laun Kiai Said banyak didatangi murid-murid baru hingga membentuk pesantren, selanjutnya anak cucu Kiai Said mendirikan pesantren di tempatnya masing-masing dalam wilayah dusun Gedongan sehingga jangan heran jika di Gedongan banyak sekali pesantren. Disana hampir setiap anak cucu Kiai Said mendirikan pesantrennya masing-masing. Wafatnya KH Muhamad SaidTidak ada penjelasan pasti mengenai bagaimana KH Muhamad Syaid wafat, akan tetapi banyak yang beranggapan jika KH Muhamad Said wafat secara normal karena usia. Setelah wafat Kiai Said dimakamkan di Komplek pemakaman dusun Gedongan. Makamnya hingga kini terus diziarahi oleh banyak orang, terutama para santri dari seluruh pesantren Gedongan, biasaya ziarah ke makamya dilaksanakan pada hari jumat. Baca Juga Ketika Pesantren Gedongan Ditipu

Silsilahkh munfasir banten. Pada maret 1887 haji marjuki yang sering pulang pergi banten makkah tiba di tanara. Beliau adalah cicit dari Syaikh Banten yang ilmunya disegani oleh dunia internasional terutama di. Ismail yang berasal dari Kampung Leuwi Kondang Desa Kadubumbang Cimanuk dan ibunya bernama Siti Sarah yang berasal dari Desa Pasir

l Kang Said atau yang memiliki nama lengkap KH. said Agil Siradj merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang pernah menduduki ketua umum PBNU. Beliau lahir pada 03 Juli 1953, di Desa Kempek, Palimanan, Cirebon. Beliau merupakan putra kedua dari lima bersaudara, dari pasangan KH. Aqiel Sirodj dengan Hj. Afifah binti KH. Soleh Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek. Saudara-saudara beliau diantaranya, KH. Ja’far Shodiq, KH. Muhamad Musthofa, KH. Ahsin Syifa dan KH. Ni’ Said Aqil Siradj melepas masa lajangnya dengan menikah Nyai. Nur Hayati Abdul Qodir. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat orang anak, diantaranya, Muhammad Said Aqil, Nisrin Said Aqil, Rihab Said Aqil, dan Aqil Said Said Aqil Siradj kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. kepada ayahandanyalah, mula-mula ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri merupakan putra Kiai Sirodj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda.“Ayah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,” kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon ia rampungkan, dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Abdul Karim Mbah Manaf. Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH. Mahrus Ali, KH. Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH. Ali Maksum Rais Aam PBNU 1981-1984. Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH. Ali Maksum menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN sudah begitu, ia masih saja merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. “Pada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad Said, putra sulung Kang keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan “tanah Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan judul Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi Relasi Allah SWT dan Alam Perspektif Tasawuf. Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya – diantara para intelektual dari berbagai dunia – dengan predikat Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di Cipasung. Ketika itu, Gus Dur mempromosikan Kang Said dengan kekaguman “Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi” puji Gus hari, Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. “selain cakap dan cerdas, beliau juga sosok yang berani” ujarnya dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH. Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU – di dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya.“Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi. “Terus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,” tegas Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun menjadi mahasiswa, Kang Said terlibat aktif di organisasi Nahdlatul Ulama NU, di antaranya adalah menjadi Sekertaris PMII Rayon Krapyak Jogjakarta 1972-1974, Yogyakarta, dan menjadi Ketua Keluarga Mahasiswa NU KMNU Mekah pada tahun 1983-1987. Selain menjadi pengurus organisasi, ia juga mempunyai kegiatan lainnya, menjadi tim ahli bahasa Indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah di tahun 1991Sekembalinya dari Timur Tengah, bukan menjadi menurun, Kang Said malah makin aktif dalam dunia nasional. Keahliannya dalam kajian keislaman, membuatnya diminta menjadi dosen di berbagai kampus di dalam negeri. Di antaranya dia tercatat sebagai dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran PTIIQ, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1995. Bahkan dua tahun kemudian ia menjadi Wakil Direktur Universitas Islam hanya itu, Kang Said juga dipercaya menjadi Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia Gandi yang bergerak dalam raung lingkup lintas agama dan anti diskriminasi AyahKang Said, KH Aqil Siroj, adalah pengasuh Pesantren Kempek, salah satu pesantren penting dalam sejarah Cirebon dan Indonesia. Dalam satu tahun (2017 - 2018 ), Presiden Joko Widodo dua kali Daftar Isi Profil KH. Muhammad Sa’id Gedongan1. Kelahiran2. Keluarga3. Mendirikan Pesantren4. Murid-Murid5. Awal Kedatangan di Gedongan6. Hubungan Pesantren Gedongan dengan Pesantren LainnyaKelahiranKH. Muhamad Sa’id atau yang kerap disapa dengan panggilan Kiai Sa’id dilahirkan di Desa Pesawahan Sindanglaut Cirebon sekitar tahun 1800 an, belum ada yang mengetahui secara pasti tanggal, dan tahun beliau Muhamad Sa’id melepas masa lajanganya dengan menikahi Nyai Hj. MaemunahMendirikan PesantrenSebelum kepergiannya ke Gedongan Kiai Sa’id terlebih dahulu bermusyawarah dan memohon ijin kepada Sultan Kasepuhan Cirebon, karena tanah yang akan dijadikan tempat pengasingannya adalah milik ayahanda Kiai Sa’id atas pemberian Sultan. Sebagai kerabat keraton, Kiai Sa’id diizinkan menempati tanah hutan untuk tempat pengasingannya sinilah secara bertahap kepala keluarga dan bangunan rumah keluarga semakin bertambah, sehigga membentuk sebuah komunitas sosial dalam sebuah pedukuhan yang belakangan bernama pedukuhan Gedongan. Pesantren yang diasuh Kiai Sa’id pun menjadi masyhur dengan sebutan Pesantren murid-murid Kiai Sa’id berjumlah banyak, akan tetapi hanya beberapa saja yang tercatat dalam memori dan sejarah Pesantren Gedongan. Diantaranya adalah1. KH. Jauhari Mashur yang dijuluki Kiai Ijo, menetap di Pondok Pesantren Gedongan dengan tujuan mengaji kepada Kiai Muhammad Sa’id. Murid ini juga pernah mengaji kepada Kiai Sa’id dengan berjalan kaki selama 41 hari dari desa kelahirannya di daerah Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon, atas perintah Kiai Sa’id Kiai Ijo juga pernah menjalani perintah gurunya itu untuk tidak batal wudhu setiap hari dan tidak mengedipkan kedua matanya selam 41 KH. Siroj yang berasal dari Karangwareng Kecamatan Karang Sembung Kabupaten Cirebon. Murid yang berasal dari keluarga kaya ini mengaji di Pondok Pesantren Gedongan hingga putera terakhir Kiai Sa’id yang bernama Kiai Siroj masuk ke pelaminan. Bahkan pada acara pernikahan Kiai Siroj dengan puteri keturunan keraton Solo yang bernama Nyimas Fatimah Azzahro Kiai Siroj bersama Kiai Munawir yang sengaja datang dari Krapyak Jogjakarta ikut mengantar pengantin ke Solo. Sebelum wafat Kiai Siroj berpesan kepada para putera dan puterinya agar tidak memutuskan tali hubungan dengan para putera dan cucu Kiai Sa’id. Sehingga sampai saat ini hubunga keluarga Haji Siroj Karangwareng dengan keluarga Kiai Sa’id tetap terjalin dan terjaga dengan KH. Amin berasal dari desa yang sekarang bernama Kalimukti Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon. Murid Kiai Sa’id ini adalah orang yang senantiasa mendampingi Kiai Sa’id pergi dengan mengemudi dokar. Supir pribadi Kiai Sa’id ini adalah ayah kandung Kiai Mahrus Amin pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Kebayoran Lama Jakarta dan Pendiri Pesantren Madinnatunnajah yang tersebar di banyak daerah khususnya di Jawa Barat KH. Suchaimi, pendiri Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi Kabupaten Brebes. Santri Kiai Sa’id ini bersama mertuanya yang bernama Kiai Ambari dan saudaranya yang bernama Kiai Manshur setiap tahun selalu menyedekahkan sebagian dari hasil sawahnya kepada Kiai Sa’id. Padi diangkut dengan pedati kedua kuda dari Brebes menuju Gedongan. Hal ini berlangsung hingga periode Kiai Siroj putera bungsu Kiai Sa’id, menjadi sesepuh Pondok Pesantren Gedongan kini Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi menjadi salah satu pesantren yang dikenal di daerah Brebes dan sekitarnya dan memiliki santri cukup banyak. Pengasuhnya sekarang adalah para anak cucu Kiai Suchaimi dan Kiai Manshur antara lain Kiai Subhan Ma’mun dan Kiai Kholil Kedatangan di GedonganKedatangan Kiai Sai’d ke Gedongan untuk kemudian membangun pesantren di tempat itu beragam versi, ada yang menyatakan menghindari kejaran Belanda karena beliau terlibat dalam pemberontakan yang digagas Bagus Rangin dan Kesultanan Cirebon, adapula yang berpendapat beliau datang ke Gedongan semata-mata hanya untuk uzlah dan menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon yang dituturkan dari para Kiai di Gedongan menyebutkan bahwa kedatangan Kiai Sa’id ke Gedongan disertai istrinya Nyai Hj. Maemunah dan sejumlah santri ayahnya dan calon santri yang berminat mengaji kepada Kiai Sa’id ikut serta dalam pengasingan itu, jumlahnya 24 orang ditambah seorang pembantu laki-laki bernama Ngarpin dan pembantu perempuan bernama Kamal yang keduanya masih berusia Pesantren Gedongan dengan Pesantren LainnyaPondok Pesantren Gedongan termasuk pondok pesantren tertua di Cirebon dan memiliki hubungan erat dengan pesantren lainnya, hubungan kekerabatan itu dimiliki melalui jalur pernikahan kakak kandung Kiai Sa’id yaitu Ny. Maesaroh diperistri oleh Kiai Sholeh pendiri Pondok Pesantren Benda Kerep, sementara itu hubungan dengan buntet diperoleh melalui jalur isterinya Kiai Sa’id yaitu Ny. Maemunah yang merupakan kakak kandung Kiai Abas Buntet sejarah pesantren, ketiga pesantren yang masih memiliki hubungan kerabat ini ketika akan diserang Belanda sempat membuat bingung sang penjajah. Pondok Pesantren Gedongan tampak seperti lautan dan Pondok Pesantren Buntet tampak seperti tumpukan hubungan kekerabatan dengan dua pesantren tersebut, Pondok Pesantren Gedongan juga memiliki hubungan dengan sejumlah pesantren lain yang terjalin melalui jalur pernikahan antara anak-cucu Kiai Sa’id dengan anak-cucu tokoh-tokoh pendiri pesantren lain dan tinggal di luar Pondok Pesantren Gedongan. Sebagian dari mereka adalahKiai Nachrowi yang merupakan putera kedua Kiai Sa’id menikah dengan Ny. Humairoh puteri Kiai Sholeh Pondok Pesantren Benda Maksum Siraj dan Kiai Aqil Siraj cucu Kiai Sa’id, yang menikah dengan Ny. Rubai’ah dan Ny. Afifah puteri Kiai Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek Mahrus Ali menikah dengan Ny. Zainab puteri Kiai Abdul Karim pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
arifagus trisno, nim. 10120098 (2015) biografi kh. sahal mahfudh (1937-2014 m). skripsi thesis, universitas islam negeri sunan kalijaga. sejarah pondok pesantren al falah gedongan, baki, sukoharjo, jawa tengah (2006 kiprah said tuhuleley dalam pemberdayaan masyarakat di muhammadiyah 2005-2015 m. skripsi thesis, uin sunan kalijaga
by Ibn Hakim Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj atau yang kerap disapa dengan panggilan Kang Said lahir pada 03 Juli 1953, di Desa Kempek, Palimanan, Cirebon. Beliau merupakan putra kedua dari lima bersaudara, dari pasangan KH. Aqiel Sirodj dengan Hj. Afifah binti KH. Soleh Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek. Saudara-saudara beliau diantaranya, KH. Ja’far Shodiq, KH. Muhamad Musthofa, KH. Ahsin Syifa dan KH. Ni’ Berdasarkan silsilah nasab KH. Said Aqil Siradj, beliau merupakan dzuriyah Rasullullah yang ke-32 dengan urutan nasabnya sebagai berikutNabi Muhammad SAWFatimah Az-ZahraAl-Imam Sayyidina HussainSayyidina Ali Zainal Abidin binSayyidina Muhammad Al Baqir binSayyidina Ja’far As-Sodiq binSayyid Al-Imam Ali Uradhi binSayyid Muhammad An-Naqib binSayyid Isa Naqib Ar-Rumi binAhmad al-Muhajir binSayyid Al-Imam Ubaidillah binSayyid Alawi Awwal binSayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah binSayyid Alawi Ats-Tsani binSayyid Ali Kholi’ Qosim binMuhammad Sohib Mirbath HadhramautSayyid Alawi Ammil Faqih Hadhramaut binSayyid Amir Abdul Malik Al-Muhajir Nasrabad, India binSayyid Abdullah Al-’Azhomatul Khan binSayyid Ahmad Shah Jalal Ahmad Jalaludin Al-Khan binSayyid Syaikh Jumadil Qubro Jamaluddin Akbar Al-Khan Al Husein binSayyid Ali Nuruddin Al-Khan Ali Nurul AlamSayyid Umdatuddin Abdullah Al-Khan binSunan Gunung Jati Syarif HidayatullahPangeran Pasarean Pangeran Muhammad Tajul ArifinPangeran Dipati Anom Pangeran Suwarga atau Pangeran Dalem Arya CirebonPangeran Wirasutajaya Adik Kadung Panembahan RatuPangeran Sutajaya Sedo Ing DemungPangeran Nata ManggalaPangeran Dalem Anom Pangeran Sutajaya ingkang Sedo ing TambakPangeran Kebon Agung Pangeran Sutajaya VPangeran Senopati Pangeran BagusPangeran Punjul Raden Bagus atau Pangeran Penghulu KasepuhanRaden AliRaden MuriddinKH. Raden NuruddinKH. Murtasim Kakak dari KH Muta’ad leluhur pesantren Benda Kerep dan BuntetKH. Said Pendiri Pesantren GedonganKH. SiradjKH. AqilProf. Dr. KH. Said Aqil Siradj Ketua PBNUKeluargaKH. Said Aqil Siradj melepas masa lajangnya dengan menikah Nyai. Nur Hayati Abdul Qodir. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat orang anak, diantaranya, Muhammad Said Aqil, Nisrin Said Aqil, Rihab Said Aqil, dan Aqil Said Said Aqil Siradj kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. Dengan ayahandanya sendiri, ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri – Ayah Said – merupakan putra Kiai Siroj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda.“Ayah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,” kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah Kebangsaan Khalista 2015.Setelah merampungkan mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon, dan umur dirasa sudah cukup, Kang Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Abdul Karim Mbah Manaf. Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH. Mahrus Ali, KH. Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH. Ali Maksum Rais Aam PBNU 1981-1984. Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH. Ali Maksum menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. “Pada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad Said, putra sulung Kang keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan “tanah Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan judul Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi Relasi Allah SWT dan Alam Perspektif Tasawuf. Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya – diantara para intelektual dari berbagai dunia – dengan predikat bermukim di Makkah, ia juga menjalin persahabatan dengan KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur. “Gus Dur sering berkunjung ke kediaman kami. Meski pada waktu itu rumah kami sangat sempit, akan tetapi Gus Dur menyempatkan untuk menginap di rumah kami. Ketika datang, Gus Dur berdiskusi sampai malam hingga pagi dengan Bapak,” ungkap Muhammad Said bin Said Aqil. Selain itu, Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk sowan ke kediaman ulama terkemuka di Arab, salah satunya Sayyid Muhammad Alawi di Nahdlatul Ulama NUSetelah Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di Cipasung. Ketika itu, Gus Dur “mempromosikan” Kang Said dengan kekaguman “Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi,” puji Gus Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. “Kelebihan Gus Dur selain cakap dan cerdas adalah berani,” ujarnya, dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH. Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU – di dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya. “Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi, seperti dikutip NU Online. “Terus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,” tegas Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun di NUKarier KH. Said Aqil Siradj terhadap NU juga begitu besar. Karier tersebut, beliau telah memulainya sejak tahun 1994-sekarang. Perjalanan karier KH. Said Aqil Siradj sebagai berikutWakil katib aam PBNU 1994-1998Katib aam PBNU 1998-1999Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia GANDI 1998Ketua Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa FKKB 1998-sekarangPenasehat Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI 1998-sekarangWakil Ketua Tim Gabungan Pencari fakta TGPF Kerusuhan Mei 1998 1998Ketua TGPF Kasus pembantaian dukun santet Banyuwangi 1998Penasehat PMKRI 1999-sekarangKetua Panitia Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri 1999Anggota Kehormatan Matakin 1999-2002Rais syuriah PBNU 1999-2004Ketua Majelis Ulama Indonesia 2000-2005Ketua PBNU 2004-2010Ketua Umum PBNU 2010-2015 dengan Rais Aam KH. Sahal MahfudhKetua Umum PBNU 2015- sekarang dengan Rais Aam KH. Ma’ruf AminAnggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila 2017- sekarangKiprahSejak mahasiswa, Kang Said terlibat aktif di organisasi Nahdlatul Ulama NU, di antaranya adalah menjadi Sekertaris PMII Rayon Krapyak Jogjakarta 1972-1974, Yogyakarta, dan menjadi Ketua Keluarga Mahasiswa NU KMNU Mekah pada tahun 1983-1987. Selain menjadi pengurus organisasi, ia juga mempunyai kegiatan lainnya, menjadi tim ahli bahasa Indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah di tahun 1991Sekembalinya dari Timur Tengah, Kang Said makin aktif di tingkat nasional. Keahliannya dalam kajian keislaman, ia diminta menjadi dosen di berbagai kampus di dalam negeri. Di antaranya dia tercatat sebagai dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran PTIIQ, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1995. Bahkan dua tahun kemudian ia menjadi Wakil Direktur Universitas Islam berkecimpung di dunia akademisi, Kang Said juga terlibat dalam dunia gerakan lintas agama dan anti driskiminasi dengan menjadi Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia Gandi.PenghargaanBerdasarkan The Moslem 500 yang diselenggarakan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Centre Amman, KH. Said Aqil Siroj merupakan salah satu tokoh muslim paling berpengaruh di dunia. Peringkat beliau diantaranyaTahun 2010 menduduki peringkat ke-19Tahun 2011 menduduki peringkat ke-17Tahun 2012 menduduki peringkat ke-19Tahun 2017 menduduki peringkat ke-20Tahun 2018 menduduki peringkat ke-22Tahun 2019 menduduki peringkat Ke-20Tahun 2020 menduduki peringkat ke-19Tahun 2021 menduduki peringkat ke-18 alfrednobel penemu, by the year alfred nobel had become a chemist, what was bofor's main business under alfred nobel, alfred nobel menemukan dinamit pada tahun, short biography of alfred nobel, biografi alfred nobel dalam bahasa inggris, alfred bernhard nobel was a swedish chemist, engineer, innovator, and ornament Biografi dan Latar Belakang Pendidikan Rahmah adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus Al-Khalidiyah dan Rafiah yang memiliki dua kakak perempuan dan dua kalak laki-laki. Keluarga ini penganut Islam yang taat. Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. la bekerja sebagai kadi Hakim di Pandai Sikek, 5 km dari Padang Panjang. Sedangkan ibunya, Rafiah, punya hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama, pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19. Ketika berusia enam tahun, Rahmah ditinggal wafat ayahnya pada usia 60 tahun. Sehingga untuk tetap mendapatkan pendidikan, keluarganya memilihkan salah seorang murid ayahnya sebagai guru mengaji Rahmah bersama dua kakaknya yang pernah belajar di sekolah desa dan mengajarkan Rahmah baca tulis Arab dan Latin. Menginjak usia 10 tahun, Rähmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. la mengambil perbandingan dari kajian yang diikutinya, berpindah-pindah ke berbagai surau yang ada di Padang Panjang. Rahmah dan beberapa temannya juga mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah ayah Buya Hamka di Surau Jambatan Basi. Mereka tercatat sebagai murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jambatan Basi, sebagaimana dicatat oleh Hamka. Hamka dalam Ayahku Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera 1982 menggambarkan sosok Rahmah El Yunusiyah sebagai perempuan muslim revolusioner dan pantang menyerah. Rahmah biasanya tak sendirian. Ia kerap datang bersama tiga sahabatnya, yakni Rasuna Said, Siti Nansiah, dan Djawana Basyir. Di antara mereka berempat, ia tampak sebagai pemimpinnya. “Boleh dikatakan bahwa sebelum itu, belumlah ada kaum perempuan yang belajar agama, nahwu-sharaf, fiqih, dan ushul-nya, Sebelum itu, kaum perempuan baru belajar dalam pengajian umum,” demikian tulis Hamka. Konsistensi Rahmah dalam Menutup Aurat Sepanjang hidupnya, Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung dan mudawarah. Anggota Konstituante Zamzami Kimin menulis bagaimana Rahmah memberi perumpamaan menutup aurat dengan membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan jualannya terbuka sementara yang satu lagi menutupi jualannya dengan rapi, takut dihinggapi debu yang beterbangan. “Kalau sekiranya saudara ingin membeli jualan itu yang manakah yang akan saudara beli,” tulis Zamzami menirukan ucapan Rahmah. Selain itu, Rahmah telah menampilkan ciri khas anak-anak putri dengan pakaian khas diniyah, kerudung putih yang mereka lilitkan di kepala, baik di ruangan kelas maupun di halaman sekolah. “Bila masyarakat melihat gadis atau wanita memakai mudawarah, baju kurung membalut tubuh, sehingga yang kelihatan hanya tangan, muka, dan kaki, maka dengan spontan mereka menyebut, itulah dia murid-murid Rahmah El Yunusiyah,” tulis Zamzami. Berdirinya Madrasah Perempuan Pertama di Nusantara Pada tanggal 1 November 1923, sejarah mencatat berdirinya perguruan untuk perempuan Islam pertama di Indonesia yakni Madrasah Diniyah Puteri al-Madrasah ad-Diniyyah lil Banat di Padang Panjang, Sumatra Barat. Tujuan pendidikan Diniyah Puteri yang la kembangkan adalah, “Membentuk putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan Tanah Air atas dasar pengabdian kepada Allah Swt.” Dua teman Rahmah, Siti Nansiah dan Djawana Basyir, termasuk guru terawal. Sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Mulanya ada 71 orang murid yang kebanyakan ibu muda. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Sekolah Diniyah Puteri berkembang pesat, jumlah muridnya pun makin lama kian bertambah banyak. Tercatat, pada tahun 1928 Diniyah Puteri memiliki sedikitnya 200 murid. Pada 1925, Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Puteri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis. Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama. Selain Diniyah Puteri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal. Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang peserta. Pada awal 1926, karena kapasitas asrama yang disediakan di tingkat dua gedung tak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan secara gotong royong. Dalarn buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Puteri dicatat, para murid Diniyah Puteri bersama-sama pelajar dari Diniyah School dan Thawalib mengangkat batu dari sungal yang berjarak 2,5 kilometer dari sekolah untuk membangun fondasi gedung. Sayangnya, ketika Diniyah Puteri baru berumur tiga tahun, ujian berat datang mendera. Ini sekaligus untuk melihat bagaimana sikap dan komitmen Rahmah terhadap gagasan dan cita-citanya. Ujian itu adalah pada 28 Juni 1926 gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padang Panjang, meruntuhkan gedung lama beserta fondas gedung baru yang sedang dibangun. Siti Nanisah, salah seorang guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan. Gempa ini tercatat sebagai gempa cukup dahsyat melanda Padang Panjang dan sekitarnya. Gempa bumi mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar Diniyah Puteri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padang Panjang, seluruh murid Diniyah Puteri mengungsi keluar kota. Rahmah menyaksikan orang-orang meninggalkan Padang Panjang mengungsi ke daerah sekitar yang lebih aman. Praktis kegiatan belajar mengajar terganggu. Dua tahun pasca-gempa, Allah memberikan hikmah yang luar biasa. Perkembangan Diniyah Puteri mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tercatat muridnya sudah mencapal 200 orang Jumlah itu, sebagaimana dicatat oleh Dellar Noer, bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935. Untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kurikulum sekolah, Rahmah melakukan studi banding melalui kunjungan sekolah ke Sumatra dan Jawa 1931. Selanjutnya ia juga mendirikan Freubel School Taman Kanak-kanak, Junior School setingkat HIS. Sekolah Diniyah Puteri sendiri diselenggarakan selama 7 tahun secara berjenjang dari tingkat ibtidaiyah 4 tahun sampai tsanawiyah 3 tahun. Pada tahun 1937 berdiri program Kulliyyatul Mu’allimat al Islamiyyah 3 tahun yang diperuntukkan bagi calon guru. Perempuan Agamis Yang Nasionalis Pernah suatu ketika pemerintah kolonial hendak menawarkan subsidi pada lembaga yang didirikan Rahmah, akan tetapi dengan tegas dan berani, dia menolaknya. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak ingin menjadi bawahan penjajah dan terikat pada aturan mereka. Rahmah sangat membenci penjajahan dan la adalah nasionalis sejati. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam berbagai aktivitas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sampai hari ini Diniyah Puteri telah melahirkan ribuan perempuan yang pintar sekaligus membuktikan jika dalam urusan belajar, laki- laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapat perhatian luas. Ketika pemerintah kolonial berencana memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar yang akan mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah kolonial ditutup, Rahmah memimpin panita penolakan di Padang Panjang pada 1933. Dia dituduh membicarakan politik sehingga membuatnya didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Puteri. Tiga orang guru Diniyah Puteri Kanin RAS, Chasjiah dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar dengan kesalahan yang dicari-cari. Pada 1938, la hadir dalam rapat umum di Bukittinggi untuk menentang Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kotaraja. Aceh. la dipandang oleh ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di pulau Sumatra Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cao Sangs In Muhammad Sjafiri, Rahmah segera mengerek bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Puteri. la tercatat sebagal orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatra Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkobar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok kota dan luar daerah. Menjadi Perempuan Pertama Bergelar Syekhah’ Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji la mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan Syekhah’ dari Universitas Al-Azhar. Itu untuk pertama kalinya Al-Azhar memberi gelar kehormatan syekh pada perempuan. Hamka mencatat, Diniyah Puteri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kulliyah Lil Banat, bagian Universitas Al- Azhar yang dikhususkan untuk putri pada 1962. Hadirnya sosok Rahmah adalah refleksi ideal seorang muslimah untuk setiap zaman. la adalah pejuang yang memiliki cita-cita tinggi. progresif, dan visioner. la berharap kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat tak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak atau keturunan, juga terangkatnya derajat kaum perempuan ke tempat yang lebih proporsional. Rahmah membuktikan bahwa perempuan mampu memberi peran dan kontribusi terhadap peradaban. Dia harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, dan sebagai anggota masyarakat. Kaum perempuan harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam. Semuanya harus melalui pendidikan dan pengajaran. Perempuan harus terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitarnya. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, nasibnya tak akan berubah. Karena itu Rahmah berpendapat, perempuan harus mendapatkan akses pendidikan yang sama sebagaimana kaum laki-laki. Hak untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Dari kisah kehidupannya dapat disimpulkan bahwa Rahmah El Yunusiyah merupakan sosok pejuang perempuan dengan motivasi yang tinggi dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pendidikan kaumnya. Perjuangannya berjuang berdasarkan ide-ide yang ia yakini bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah. Rahmah El Yunuslyah adalah tokoh ulama perempuan Nusantara yang telah jelas melakukan perjuangan dalam pendidikan perempuan Dengan menelaah pemikiran pembaharuannya dapat memberi gambaran bahwa perempuan juga dapat berkiprah dalam ranah publik dan lingkungan sosial tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai istri maupun ibu. Menjelang Wafatnya Pada 1964, Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Puteri. Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Rahmah menemui alumni Diniyah Puteri di beberapa negara bagian Malaysia didampingi Datin Sakinah, alumni Diniyah Puteri asal Perak yang tinggal di Kelantan bersama suaminya, Datok Mohammad Asri yang merupakan menteri besar Kelantan. Mereka menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang semakin menurun. Perjuangan seorang Rahmah El Yumusiyah dalam memajukan pendidikan kaumnya adalah perjuangan yang menuntut konsistensi tingkat tinggi. Walau menderita penyakit cukup berat, sehari menjelang ajalnya ia masih sempat menemui Gubernur Sumatra Barat waktu itu Harun Zain, berharap pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, “Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai di leher. Tolonglah Pak Gubernur Sekolah Diniyah Puteri dilihat-lihat dan diperhatikan.” Keesokan harinya setelah selesai mengambil air wudhu untuk shalat Magrib, ia kembali kepada Sang Pencipta, la wafat pada 26 Februari 1969, dalam usia 69 tahun, Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya di sisi barat Asrama Diniyah Puteri yang beliau dirikan. Setelah Rahmah wafat, kepemimpinan Diniyah Puteri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Puteri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006. Sumber Ensiklopedi Ulama Nusantara
METODETAHFIDZ AL-QUR'AN (Studi Komparatif Metode Tahfidz Al-Qur'an di Pondok Pesantren Madrasah al-Hufadzh II Gedongan Ender, Pangenan Cirebon dengan Pondok Pesantren Tahfidz Qur'an Terpadu Al- Hikmah Bobos, Dukupuntang Cirebon
Sejarah Friday, 15 Apr 2022, 2136 WIB Keterangan Peziarah membaca tahlil di makam Pendiri Pondok Pesantren GedonganSumber Cirebon, Jawa Barat, Pesantren Gedongan salah satu pesantren tua yang mempunyai pengaruh besar dalam perjalanan sejarah masyarakat Cirebon sejak berdirinya hingga kini. Dari pondok ini lahir-lahir ulama-ulama besar Nusantara dan tokoh-tokoh publik lainnya. Kerabat-kerabat dari keluargan pesantren ini kelak menjadi orang penting seperti Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU KH. Said Aqil Siraj dan KH. Mahrus Ali yang kelak menjadi pendiri Pondok Pesantren ini terletak di 15 kilometer dari Pusa Kota Cirebon, tepatnya di Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon. Pesantren tersebut telah eksis lebih kurang lebih tiga abad. Meskipun zaman terus berkembang, Pondok Gedongan tak habis ditelan waktu. Santri-santri dari penjuru Indonesia terus berdatangan setiap tahunnya untuk belajar agama. Scroll untuk membaca Scroll untuk membaca Moderasi Islam, nilai-nila kesederhanaan adalah warisan para ulama yang tetap dlestarikan hingga kini. Itu juga warisan dari sosok pendiri Pondok Gedongan Kiai Muhammad Said. Ia salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Cirebon. Menurut buku Meneguhkan Islam Nusantara, Biografi Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj Kiai Said menyebarkan moderasi Islam sebagaimana ajaran Walisongo. Kiai Said adalah tokoh yang berani membabat alas di sebuah dusun yang gelap di tengah hutan. Ia dengan sabar memoles dusun tersebut menjadi pusat pendidikan Islam. Maka dari itu, sosoknya sangat dikenal di daerah tersebut secara khusus dan kawasan Cirebon pada Said yang juga keturunan dari Sunan Gunung Jati mempiliki pemikiran terbuka akan segala perbedaan. Dia bukan tokoh yang kaku karena penguasaannya terhadap bermacam madzhab.. Oleh karena itu, dalam buku tersebut disebutkan bahwa Pondok Pesantren Gedongan salah satu di antara pusat pendidikan Islam yang mampu menguatkan tradisi Islam berdampingan dengan tradisi dari historyofcirebon, Kiai Said hidup sekitar 1800-an. Namun tak ada kepastian yang menerangkan tentang kapan Kiai Said dilahirkan di Desa Pesawahan Sidanglaut Cirebon. Kedatangan Kiai Said ke Gedongan juga terjadi berbagai versi. Ada yang menyebutkan ingin menghindari kejaran dari penjajan Belanda karena terlinat pemberontakan dengan yang digagas Kesultanan Cirebon dan Bagus Rangin. Adapula yang menyebutkan Kiai Said memang sengaja datang untuk menyebarkan Islam secara luas di kawasan penuturan para Kiai gedongan kepergiannya ke Gedongan disebutkan atas izin keluarga Sultan Kasepuhan Cirebon. Di sana Kiai Said diperbolehkan menempati tanah hutan sebagai tempat pengasingan karena tanah tersebut milik ayahnya. Ia bersama Istri, Nyai Memunah dan beberapa santi dengan total 24 orang menempati tanah tersebut yang kelak menjadi pesantren berpengaruh. pesantrengedongan pesantrentua moderasiislamcirebon sejarahcirebon islamdicirebon Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini Jurnalis dan pernah nyantri
Tokohdan Biografi; Kamis, 06 Maret 2014. Ponpes Tahfidz Quran MAU NGAPALIN AL-QUR'AN ? PESANTREN TAHFIDZUL QUR'AN PILIHAN : I. Jawa Timur dan Madura 1. PP. Darussalam Blok Agung. Pengasuh: KH. Hisyam Syafa'at, Pengasuh Tahfidz: K. Imam Mukhtar. Pengasuh: Ust. Saad Said. Alamat: Tuju tuju, Kajuara, Bone, Sulawesi Selatan 7. PPTQ Al-Amin
Silsilah KH Said Aqil Siradj Ketua PBNU akhir-akhir ini banyak dicari orang alasannya beragam, ada yang hanya sekedar ingin tahu saja, ada juga yang ingin mengetahui untuk tujuan tertentu seperti kepentingan penelitian dan lain sebagainya. Silsilah KH Said Aqil Siradj baik dari garis ayah maupun garis ibu sebenarnya sangat mudah ditelusuri mengingat KH Said Aqil Siradj terlahir dari keluarga pesantren yang menjaga betul nasabnya. Buyut KH Said Aqil Siradj baik dari jalur Ibu maupun ayah adalah sama-sama pendiri pesantren terkemuka di Cirebon. KH Said Aqil Siradj lahir pada 03 Juli 1953 di Desa Kempek Palimanan Cirebon, terlahir dari pasangan KH. Aqiel dan Nyai Hj. Afifah. Ayahnya merupakan putra dari Kiai Siradj yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said pendiri Pondok Pesantren Gedongan, Pangenan Cirebon. Sementara ibunya adalah putri dari Kiai Soleh Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek, Palimanan Cirebon. Silsilah KH Said Aqil Siradj Silsilah KH Said Aqil Siradj tersambung dengan Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah baik dari jalur ayahandanya Kiai Aqiel yang merujuk pada pesantren Gedongan, maupun dari jalur ibunya Nyai Afifah yang merujuk pada Pesantren Kempek. Dari jalur ibu, silsilah KH Said Aqil Siradj adalah sebagai berikut;“Afifah binti Kiai Harun bin Ny. Madrawi binti Pangeran Hasanudin bin Sultan Anom Moh. Kaharuddin I bin Sultan Anom Abu Sholeh Imamuddin bin Sultan Anom Khaeruddin bin Sultan Anom Alimuddin bin Sultan Anom Raja Mandura Raja Kadiruddin bin Sultan Anom Muhammad Badruddin bin Panembahan Girilaya bin Pangeran Dipati Anom Cirebon bin Panembahan Ratu bin Pangeran Dipati Carbon bin Pangeran Pasarean bin Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati" Dari jalur ayah, silsilah KH Said Aqil Siradj adalah sebagai berikut; “Aqil Siradj bin Siradj bin Muhammad Said Gedongan bin Murtasim bin Nuruddin bin KH Ali bin Tubagus Ibrahim bin Abul Mufakhir Majalengka bin Sultan Maulana Mansur Cikaduen bin Sultan Maulana Yusuf Banten bin Sultan Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati" Selanjutnya, dari Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah nasab KH Said Aqil Siraj baik dari jalur ayah maupun jalur ibunya tersambung secara runtut dengan Fatimah Az-Zahra binti Rasulallah SAW. Dengan demikian, secara silsilah KH Said Aqil Siradj adalah seorang dzuriah Nabi Muhamad dan sudah tentu beliau seorang Habib, akan tetapi karena dalam budaya Pesantren para Kiai pendahulu tidak mau dan malu dipanggil Habib maka pada umumnya mereka menafikan panggilan tersebut, para Kiai Pesantren umumnya hanya mau dipanggil dengan panggilan sederhana kerakyatan saja, seperti panggilan “Kang”, maka tidaklah mengherankan jika KH Said Aqil Siradj dikalangan santri-santrinya dipanggil dengan sebutan “Kang Said" saja. Baca Juga Biografi KH Said Aqil Siraj 4jDjIT9.
  • wucl2uxw9m.pages.dev/270
  • wucl2uxw9m.pages.dev/241
  • wucl2uxw9m.pages.dev/120
  • wucl2uxw9m.pages.dev/161
  • wucl2uxw9m.pages.dev/181
  • wucl2uxw9m.pages.dev/158
  • wucl2uxw9m.pages.dev/292
  • wucl2uxw9m.pages.dev/250
  • wucl2uxw9m.pages.dev/51
  • biografi kh said gedongan